DNR, singkatan dari "Do Not Resuscitate" atau "Tidak Dilakukan Tindakan Reanimasi", adalah suatu keputusan medis yang mendefinisikan bahwa seseorang tidak ingin menerima tindakan darurat untuk menyelamatkan hidupnya jika mengalami kegagalan organ atau henti jantung.
Konsep ini, meskipun memiliki dasar etika dan medis yang kuat, seringkali memicu perdebatan yang kompleks tentang etika, moralitas, dan hukum dalam praktik medis. Dalam artikel ini, kita akan membahas apa itu DNR, serta mempertimbangkan berbagai pandangan dan hukum yang terkait dengan keputusan ini.
Resusitasi adalah suatu prosedur yang ada dalam dunia medis dengan tujuan untuk menyelamatkan nyawa seseorang apabila pernapasan atau jantungnya berhenti bekerja.
Tindakan resusitasi ini biasanya disingkat dengan RJP (Resusitasi Jantung Paru) atau CPR (Cardiopulmonary Resuscitation).
Prosedur melakukan RJP ini untuk pasien yang mengalami beberapa kondisi, seperti tidak sadarkan diri, tidak mampu bernapas dengan normal, bahkan pasien yang tidak bernapas.
Secara singkat, RJP ini dilakukan dengan memberikan kompresi dada (compression) atau gerakan menekan dada untuk memijat jantung dari luar, membuka jalur napas pasien (airways) dengan mendongakkan kepala pasien, dan memberikan napas buatan (oleh orang yang sudah terlatih).
Pada pasien yang mengalami henti jantung dan dilakukan RJP, kemungkinan hidupnya hanya sekitar 20%, sedangkan pasien yang mempunyai penyakit kronis, persentasenya menurun hingga 5-10%.
Walaupun hanya memiliki persentase kehidupan 5-20%, tindakan untuk menyelamatkan pasien ini harus tetap diupayakan secara maksimal dan harus segera dilakukan karena masuk dalam tindakan emergency, kecuali pada pasien yang memiliki advance directive pada dirinya.
Menurut Hamzah Shatri, dkk (2021) advance directive merupakan suatu dokumentasi yang isinya mengenai arahan atau keinginan pasien tentang perawatan yang dilakukan apabila pasien dalam keadaan yang incompatible (tidak berdaya) dalam menentukan keputusan.
Salah satu isi dari pernyataan yang ada pada advance directives ini ialah perintah untuk tidak melakukan Resusitasi Jantung Paru atau RJP yang kemudian disebut dengan “Jangan Lakukan Resusitasi” atau DNR.
Perlu Anda ketahui bahwa pasien telah memerintahkan perlakukan DNR sebelum ia dalam keadaan sakit dan dalam kesadaran yang penuh. Kemudian DNR tentunya menjadi suatu keputusan yang sulit sebab menimbulkan masalah dilema etika perawat, dokter, atau tenaga kesehatan lain yang terlibat.
Adanya pandangan etis pada DNR menjadi alasan untuk membenarkan tindakan tersebut. Perlu Anda ketahui bahwa dalam melakukan RJP harus mempertimbangkan 4 kaidah bioetika seperti berikut ini.
Dalam melakukan RJP harus memikirkan asas atau prinsip manfaatnya. Berdasarkan asas ini, dokter harus mampu memikirkan manfaat RJP untuk pasien.
RJP dinilai menjadi upaya yang efektif untuk dilakukan pada pasien henti jantung akibat gangguan jantung. Sementara itu, pasien yang mengalami syok berkepanjangan menjadi indikasi untuk tidak melakukan RJP atau merupakan perintah untuk DNR.
Ini merupakan prinsip untuk mencegah tindakan nakes yang dapat meningkatkan rasa sakit pada pasien. Perlu Anda ketahui bahwa pada dasarnya pemberian RJP yang terlambat malah akan memberikan kesakitan lebih lanjut pada pasien. Pasien dapat hidup, tetapi dalam kondisi koma persisten atau status vegetatif.
Oleh sebab itu, nakes harus mempertimbangkan apakah setelah melakukan RJP pasien akan lebih banyak mendapat keuntungan atau kerugian.
Dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan hidup dan mati, pasien tetap harus menggunakan hak otonominya. Dokter harus memastikan bahwa pasien memberikan keputusan untuk menyetujui atau menolak RJP.
Pasien ini tentunya pasien yang sudah dewasa sesuai peraturan negara, yaitu minimal berusia 18 tahun, sebelum mengambil keputusan pasien harus melakukan komunikasi dengan dokter, dan dokter wajib memberikan informed consent pada pasien.
Namun, apabila terjadi kegawatdaruratan sebelum pasien memberikan keputusan, maka pilihan yang bijaksana ialah tetap memberikan pertolongan medis sesuai standar.
Adanya perlakukan adil dapat memenuhi hak-hak pasien dengan menyeimbangkan tercapainya tujuan sosial. Dalam menjamin perlakuan adil pada pasien, setiap penyedia layanan kesehatan harus mempertimbangkan apakah tindakan medis dapat memberikan dampak seperti:
Perlu Anda ketahui bahwa belum ada peraturan khusus yang mengatur mengenai DNR di Indonesia. Namun, pelaksanaan tiap tindakan medis harus berdasarkan pada persetujuan pasien setelah mendengar penjelasan cukup dari dokter.
Hal tersebut ada dalam UU No 29 Tahun 2004 mengenai Praktik Kedokteran pasal 39. Kemudian, pasal 45 ayat 1 dan 2 memperkuat undang-undang tersebut. Dengan merujuk pada UU tersebut, nakes wajib menghormati dan mengabulkan setiap keputusan pasien untuk DNR.
Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) pasal 17 berisi pernyataan bahwa setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai wujud tugas perikemanusiaan. Kecuali apabila ia yakin bahwa terdapat orang lain yang bersedia dan mampu memberikannya.
Terdapat juga penjelasan lain pada pasal 17 KODEKI, yaitu salah satu alasan yang menjadi penggugur kewajiban dokter untuk melakukan pertolongan gawat darurat pada pasien adalah pasien yang mendapat keputusan medis DNR.
Mengenai bab dan pasal penentuan kematian, pemanfaatan organ, penghentian, atau penundaan terapi bantuan hidup terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 37 Tahun 2014.
Dalam memberhentikan dan menunda terapi bantuan hidup. Pihak yang memutuskan haruslah tim dokter yang menangani pasien setelah melakukan konsultasi dengan tim Komite Medik atau Komite Etik. Keluarga pasien dapat meminta hal tersebut, tetapi salah satu syaratnya pasien harus sudah mewariskan pesannya.
Beberapa pandangan agama memperbolehkan DNR. Terutama apabila telah melakukan RJP tetapi tidak memberikan hasil baik dan malah menambah beban pasien serta keluarga.
Seorang dosen di FK Universitas Mataram (Unram), yaitu Dr. Raehanul Bahraen, M. Sc, Sp. PK, menjelaskan bahwa kondisi nyata yang memperbolehkan dokter untuk mencabut alat resusitasi ialah saat pasien mengalami kematian batang otak.
Kondisi tersebut berdasarkan pada ketetapan Majma’ Fiqh Al–Islami, yaitu kondisi denyut jantung dan nafas berhenti total dan tim dokter telah memastikan bahwa hal tersebut sudah tidak dapat kembali dan seluruh aktivitas otak telah berhenti.
Perlakuan DNR tentunya sudah harus mendapat persetujuan dari pasien yang semestinya perlu dihargai oleh setiap tenaga medis. DNR mungkin menjadi salah satu persiapan hari tua untuk beberapa orang yang memiliki penyakit kronis dan harapan hidup yang kecil.
Selain itu, mungkin keinginan mulia dalam hati untuk dapat mendonorkan organ tubuh ke orang lain juga menjadi salah satu alasan mengapa seseorang memilih untuk DNR nantinya.
Menghormati pasien ini tidak hanya berlaku untuk pasien yang masih hidup saja, tetapi juga untuk pasien yang telah meninggal dunia. Salah satu bentuk penghormatan terakhir kepada pasien DNR sebelum pemakaman ialah dengan melakukan perawatan jenazah sesuai dengan kepercayaannya.
Anda dapat mengandalkan jasa perawatan jenazah dari Kamboja yang selain menerima jasa perawatan jenazah Islam maupun non-islam juga menerima jasa pengurusan akta kematian. Dapatkan informasi lainnya dan berdiskusi dengan salah satu tim Kamboja dengan cara menghubungi kontak Kamboja.